logo
Silakan Login untuk berbelanja. jika anda belum terdaftar menjadi member , silahkan daftar terlebih dahulu

HUJAN DARAH

HUJAN DARAH
Penulis : Alexander Haryanto
ISBN : 978-602-396-019-4
Tebal : 100 Halaman
Harga :

Rp.28.000,00

Penerbit : AG Litera


Tiba-tiba saja mataku tertuju pada sebuah rumah reot yang sangat kumuh, kulihat seorang janda dipukul oleh seorang yang bukan suaminya. Anak lelakinya yang berusia delapan tahun hanya bisa mengepalkan tangan dengan air mata yang terus mengalir. Semakin keras bocah itu berteriak, semakin keras pukulan itu menghantam wajah orang yang paling dicintainya. Tak tahan melihat kekejian itu, bocah itu berlari meminta bantuan, menepuk pundak siapa saja yang bertemu dengannya. Namun orang-orang tetap berlalu-lalang.

(Dua Zaman)

 

“Beruntung kau pelupa, sebaiknya kita harus melupakan segala kenangan di masa lalu, terutama peristiwa kelam” (Wanita Seribu Nama)

 

Dua orang  berbadan tegap dengan wajah tertutup masuk menerobos rumah tanpa permisi, kemudian masuk ke kamar, menculik ayah, ibu berteriak-teriak keras, memohon agar suami tercintanya itu dibebaskan, lalu dalam seketika mereka menikam belati ke perut ibu yang masih mengandung. Mereka membawa ayah pergi. Dengan tangan terkepal aku berlari ke depan pagar rumah, lalu melihat mobil berwarna hitam itu lenyap di tikungan jalan.

(Hujan Darah)

 

Aku bekerja siang dan malam, melayani berbagai macam karakter manusia yang tak pernah aku dapatkan sebelumnya dikampungku. Kerap aku melayani orang-orang aneh dengan segudang imaginasinya. Memuaskan nafsu yang terkadang di luar nalarku. mengikat badanku, kemudian mencambuk atau meneteskan badanku dengan lilin, mereka akan semakin bergairah ketika melakukan hal seperti itu. Tak jarang memberikan sayatan-sayatan kecil di bagian tubuhku, semakin darah itu mengalir, semakin bersemangatlah mereka memuntahkan nafsu berahinya. Aku tak tak tahu lagi harus berbuat apa, hidupku benar-benar hancur, hingga aku berjalan seperti orang yang kehilangan arah, kemanapun, mengikuti langkah kakiku. hingga menjelang malam, aku singgah di sebuah jembatan, berhenti sejenak melihat aliran sungai, sejenak aku berpikir, indahnya hidup mereka, mengalir tanpa beban, hingga kuputuskan untuk menemani aliran air yang tersendat bebatuan itu. kemudian berdiri di atas jembatan, membentangkan tangan, memejamkan mata, bersiap-siap untuk mengakhiri nyawaku. Aku hanya bisa pasrah, dan selamanya berhenti berharap.

(Pengakuan)

 

Malam-malam selalu penuh pertarungan dan ini terjadi selama bertahun-tahun, kerap aku kalah dan menyerah, lalu membiarkan kalah itu hadir di malam-malam yang begitu memilukan. Senang dan sedih datang silih berganti, tapi malam lebih sering menjemput duka, karena kesunyian selalu bermuara di malam hari, kutukan macam apa ini ! Pikiran terus berkecamuk, kaki seperti tidak menginjak tanah, wajahku pucat, kurasakan darah berkumpul diubun-ubun kepalaku, suasana duka menyelimuti tempat pemakaman, gelap dan hitam mengelilingi lubang berukuran 2 x 3, wangi bunga kamboja seakan menambah kelamnya aroma duka, dalam keadaan berlutut kupandangi dirinya untuk yang terakhir kali.

Pulanglah Jane, pulanglah dengan damai, lalu kulemparkan segenggam tanah, kemudian disusul oleh hamburan bunga duka, kupandang langit dengan tajam, lalu bergemuruhlah tangisan di tempat itu.

(Sulastri)



Review